Sinopsis Buku RINDU karya Tere Liye :
=========================================
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat
kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta, ketika menangis terluka atas perasaan yg
seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas
sesuatu yg seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan
tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu
dan melupakan jaraknya setipis benang saja”
Rindu- Tere Liye. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
Selamat membaca.
=========================
Dan berikut ada resensi dari Thuluw Muhlis Romdloni yang dimuat di kompasiana.com
=========================
Judul Buku: Rindu
Penulis: Tere Liye
Editor: Andriyanti
Penerbit: Republika Penerbit
Jumlah Halaman: 544 halaman
Tahun Terbit: Oktober 2014
Rindu adalah persembahan Tere Liye di tahun 2014 yang betul-betul dirindukan.Rindu
merupakan buku ke-20 karya pengarang produktif tersebut. Semua
karya-karyanya memiliki ciri khas dan cita rasa yang berbeda. Namun bagi
saya, Rinduadalah karya yang tak pernah terbayangkan. Saya
tidak habis pikir, lagi-lagi Tere Liye menyuguhkan tema yang tidak
biasa. Menurut saya, ide penulisan novel Rindubelum pernah ada
di dunia perbukuan Indonesia. Sederhana, tidak muluk-muluk, tapi segar.
Novel ini tentang perjalanan panjang jamaah haji Indonesia tahun 1938.
Tentang kapal uap Blitar Holland. Tentang sejarah nusantara. Dan tentang
pertanyaan-pertanyaan seputar masa lalu, kebencian, takdir, cinta, dan
kemunafikan.
Ditulis dengan alur maju, memudahkan pembaca mengikuti jalan cerita.
Namun di beberapa bagian, penulis menyuguhkan cerita-cerita lain dalam
bentuk dialog, yang berkorelasi pada kisah yang tengah disajikan.
Membuat pembaca mengenal secara utuh racikan cerita di novel ini,
sehingga setting novel yang didominasi aktifitas penumpang di kapal Blitar Holland, tidak terasa membosankan.
Gaya kepenulisan novel Rindu terbilang sederhana. Membumi.
Disisipi dialog bahasa Belanda, yang meski tidak disertakan artinya,
pembaca terbantu memahami maksud kalimat dengan deskripsi yang ditulis
Tere Liye.
“Mag ik uw kaatje, Meneer?” Salah satu kelasi bertanya sopan,
persis saat Gurutta menginjak dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen
perjalanan. (hal. 35)
Novel ini dibuka dengan mukadimah yang unik. Tere Liye menukil fakta
sejarah nusantara di tahun 1938. Salah satunya, Indonesia (yang masih
bernama Hindia Belanda) mengikuti Piala Dunia di Prancis untuk pertama
kalinya. Seterusnya, sosok kapal uap yang akan menjadi saksi seluruh
cerita di novel setebal 544 ini mulai digambarkan penulis. Untuk
kemudian, Tere Liye menghadirkan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel
ini.
Konon, novel yang baik adalah yang membuat pembaca jatuh cinta atau
simpati terhadap tokoh-tokoh yang diciptakan penulisnya. Di novel Rindu,
saya merasakan hal tersebut. Memang tidak pada semua tokoh utama,
bahkan, saya pribadi tidak terlalu jatuh hati dengan tokoh yang pertama
kali dimunculkan Tere Liye, yaitu Daeng Andipati. Bukan apa-apa, hanya
saja tokoh dengan karakter seperti Daeng Andipati ini sudah “banyak
ditemukan”. Seperti yang digambarkaan Tere Liye, Daeng Andipati adalah
pedagang muda dari Makassar, kaya raya, pintar dan baik hati (hal.11)
Daeng Andipati adalah penumpang Blitar Holland yang mengikutsertakan
istri, kedua anaknya, serta seorang pembantu. Sosoknya berkarismatik,
terpandang, digambarkan dekat dengan orang-orang Belanda. Sekilas,
kehidupan Daeng Andipati nampak sempurna. Kebahagiaan seolah meliputinya
sepanjang waktu. Istri yang cantik dan salehah, dua anak yang periang
dan menggemaskan, juga karir bisnis yang menjanjikan. Namun ada satu hal
yang tersembunyi di dada Daeng Andipati. Membuat seluruh kehidupan
Daeng Andipati seolah tidak berarti. Adalah kebencian Daeng Andipati
terhadap ayahnya.
“…Karena jika kau kumpulkan seluruh kebencian itu, kau gabungkan
dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah, Gori.
Kebencianku pada orang tua itu masih lebih besar. Kebencianku masih
lebih besar dibandingkan itu semua!” (hal. 362)
Mencermati hubungan Daeng Andipati dengan ayahnya, kita seolah diajak
menoleh kenyataan di sekitar kita. Betapa terkadang kebencian itu bisa
lahir dari dua orang yang seharusnya terikat cinta. Ini adalah hal
menarik yang diangkat Tere Liye dalam novel Rindu. Kabar
baiknya, pertanyaan tentang kebencian itu memiliki jawaban yang
mendamaikan. Sehingga siapapun pembaca yang mengalami hal serupa, bisa
mengambil sikap terbaik. Seperti biasa, cara Tere Liye menyisipkan
pesan-pesan pencerahan selalu sederhana, tidak menggurui. Namun tepat
sasaran.
Tokoh lain yang menghiasi perjalanan panjang kapal Blitaar Holland
adalah dua kakak beradik, Anna dan Elsa. Dua kanak-kanak ini memberi
kesan dan warna tersendiri dalam novel Rindu. Saya membayangkan, novel Rindu
ini pasti akan terasa berat tanpa kehadiraan Anna dan Elsa. Sementara
Tere Liye, sudah sangat terampil menggambarkan karakter anak-anak dalam
novel-novelnya. Saya sungguh jatuh cinta dengan Anna dan Elsa. Polos,
periang, dan menggemaskan. Tere Liye memberikan porsi yang banyak untuk
cerita mereka. Semakin menegaskan, bahwa kanak-kanak tidak pernah
terlepas dari kehidupan kita. Kehadiran mereka adalah penghiburan. Dunia
pasti terlihat membosankan tanpa sosok mereka. Ini sekaligus menjadi
nilai lebih novel Rindu, ide tentang anak-anak yang menyertai orang dewasa pergi haji hampir tidak pernah disinggung dalam cerita manapun.
Hal baru dari novel Rindu ini adalah kemunculan tokoh ulama.
Ini istimewa, karena di novel yang lain, Tere Liye belum pernah
mengambil karakter seorang ulama. Yang ada di benak kita bila disebut
kata ulama, tentu terbayang sosok manusia dengan seluruh kesempurnaan
ilmu dan adab. Begitu juga dengan Ahmad Karaeng, seseorang yang
dipanggil Gurutta itu digambarkan sebagai ulama yang sempurna. Berilmu. Beradab. Bahkan empat dari lima pertanyaan besar di novel Rinduterjawab sempurna dari lisannya yang bijak.
Namun Gurutta bukan ulama biasa. Ia ulama bersahaja, yang
rendah hati, dicintai banyak orang karena tinggi budinya. Sikapnya
terbuka pada siapapun. Mau membaur dengan orang-orang yang jauh
kapasitas keilmuannya. Bahkan Guruttaakrab dengan orang-orang Belanda di kapal Blitar Holland, duduk satu meja dengan Chef Lars, berbincang santai dengan Ruben si Boatswain,
dan melibatkan diri pada urusan-urusan penting selama di kapal bersama
Kapten Phillips. Lain dari itu, saya sangat terkesan dengan hubungan Gurutta
dengan Anna dan Elsa. Sesuatu yang jarang kita dapati, ulama besar
namun begitu memuliakan anak-anak, begitu menghargai keberadaan mereka.
Menyindir kita yang terkadang menganggap anak-anak itu merepotkan,
menyebalkan, dan stigma negatif lainnya. Padahal, Rasulullaah sendiri
sudah mencontohkan sikap terbaik beliau terhadap anak-anak.
Ada banyak hal menarik pada sosok Ahmad Karaeng. Namun diluar semua
kelebihannya, Ahmad Karaeng tetaplah manusia biasa. Dia bahkan
menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang begitu dia khawatirkan. Sesuatu
yang mengganggu batinnya.
Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seorang yang selalu
pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa
menjawab pertanyaannya sendiri.
Lihatlah ke mari wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu
punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak
untuk dirinya sendiri. (hal. 316)
Seperti biasa, tema cinta tak akan pernah lepas dari novel dengan
genre apapun. Dalam novel Rindu, Tere Liye juga menghadirkan tokoh yang
berhasil membuat saya jatuh cinta, sepasang pasutri sepuh dari Semarang.
Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet. Diantara ribuan penumpang kapal
Blitar Holland, merekalah pasangan paling sepuh. Sekaligus paling
romantis.
“Pendengaranku memang sudah tidak bagus lagi, Nak. Juga mataku
sudah rabun. Tubuh tua ini juga sudah bungkuk. Harus kuakui itu. Tapi
aku masih ingat kapan aku bertemu istriku. Kapan aku melamarnya. Kapan
kami menikah. Tanggal lahir semua anak-anak kami. Waktu-waktu indah
milik kami. Aku ingat itu semua.” (hal. 205)
Tere Liye seakan berpesan kepada pembaca—terutama kawula muda, bahwa
contoh konkret cinta sejati adalah pasangan yang sudah berpuluh tahun
mengarungi bahtera rumah tangga. Bukan kawula muda yang bergaul bebas,
tanpa komitmen, dan melanggar begitu banyak rambu-rambu agama atas nama
cinta. Sayangnya, ada hal yang membuat dada sesak dalam perjalanan cinta
mereka. Sesuatu yang kemudian menjadi salah satu pertanyaan besar dalam
novel ini.
Tema cinta juga datang dari tokoh pemuda bernama Ambo Uleng. Si
kelasi pendiam yang suka berdiam diri menatap jendela bundar di kabin.
Meski Tere Liye baru membeberkan dibalik kemisteriusan Ambo Uleng di
halaman 483, sebenarnya pembaca sudah bisa menebak apa yang sesungguhnya
terjadi dengaan pemuda itu.“Aku hanya ingin meninggalkan semuanya, Kapten.” (hal. 33)
Ambo Uleng merupakan tokoh dengan karakter yang juga berhasil membuat
saya jatuh hati. Banyak sifat baik Ambo Uleng yang bisa dijadikan
teladan. Keinginannya belajar mengaji salah satunya, tidak masalah meski
harus belajar dengan Anna, si gadis kecil yang pernah ia tolong dalam
sebuah peristiwa besar di Surabaya. Kecerdasan dan kecakapan Ambo uleng
menyertai beberapa adegan heroik di novel ini. Namun yang paling
berkesan, lima dari empat pertanyaan besar di novel ini—yang datang dari
seseorang yang selalu memberikan jawaban, justru lahir dari sosok Ambo
Uleng. Pertanyaan yang bukan dari penjelasan lisan atau tulisan, tapi dengan perbuatan tangan. (hal. 540)
Tokoh terakhir dari tokoh-tokoh sentral dalam novel Rindu
adalah Bonda Upe. Guru mengaji anak-anak di kapal Blitar Holland ini
membuat saya jatuh simpati. Tere Liye menggambarkan suasana batin Bonda
Upe dengan sempurna. Siapapun yang membaca, seolah dapat merasakan
sesuatu yang terpendam di dada perempuan itu. Sesak, gelisah, pun
saat-saat ia menemukan secercah cahaya yang membuatnya bisa memandang
hidupnya dengan perasaan lapang. Menariknya, Bonda Upe adalah warga
keturunan China dan Muslim. Sesuatu yang mungkin masih menjadi hal yang
asing pada saat itu.
“Ma, kalau Bonda Upe itu orang China, kenapa dia Islam?”
“Koh Acan di Kampung Butung juga Islam, apanya yang aneh?” (hal.108)
Dalam perjalanannya ke Tanah Suci, Bonda Upe membawa pertanyaan besar. Berkitan dengan masa lalunya sebagai cabo.
Ada pelajaraan penting yang bisa diambil dari kehidupan Bonda Upe.
Salah satunya adalah nilai ketulusan seorang Enlai, suami Bonda Upe.
“Dia tulus menyemangatimu, tulus mencintaimu. Padahal, dia tahu
persis kau seorang cabo. Sedikit sekali laki-laki yang bisa menyayangi
seorang cabo. Tapi Enlai bisa, karena dia menerima kenyataan itu. Dia
peluk erat sekali. Dia bahkan tidak menyerah meski kau telah menyerah.
Dia bahkan tidak berhenti meski kau telah berhenti. (hal. 312-313)
Bukan hanya berisi tokoh-tokoh yang menarik. Novel Rindu,
meski hanyalah potret perjalanan ke Tanah Suci di atas kapal uap milik
Belanda, novel ini juga menyajikan beragam konflik yang tidak pernah
terduga. Diantaranya tragedi penyerangan kapal oleh bajak laut dari
Somalia, kapal yang terancam terkatung-katung di laut lepas, seseorang
yang mencoba membunuh Daeng Andipati, serta kasus yang membuatGurutta dipenjara di sel kapal Blitar Holland.
Tere Liye, dalam novel ini, sekaligus menyinggung beberapa isu,
diantaranya seputar toleransi beragama. Dikisahkan dalam perjalanan dari
Kolombo menuju Jeddah, para kelasi mengadakan perayaan Natal.
Sebagaimana yang terjadi di masyarakat tentang polemik Natal bersama dan
mengucapkan selamat Natal. Dalam sebuah dialog antara Daeng Andipati
dengan Anna, Tere Liye menegaskan makna toleransi dari sudut pandang
yang lain.
“…tanpa menghadiri acara itu, kita tetap menghormati mereka
dengan baik, sama seperti Kapten Philips yang sangat menghormati agama
kita. Pun tanpa harus mengucapkan selamat, kita tetap bisa saling
menghargai. Tanpa perlu mencampur adukkan hal-hal yang sangat prinsipil
di dalamnya.” (hal. 499)
Di bagian yang lain, Tere Liye juga mengkritisi tentang kisah-kisah takhayul serta beragam pemberitaan hoax
yang berceceran di media-media. Di mana diantara kaum Muslimin menelan
mentah-mentah berita seputar bayi lahir dengan Al-Quran kecil, bayi
lahir bisa bicara, ada asma Allah di awan, dan lain-lain sehingga mereka
lupa bahwa mukjizat paling besar ada di rumah mereka. Diletakkan di
lemari, di meja, dibiarkan berdebu tanpa pernah dibaca. (hal. 394)
Keberagaman tema dalam novel Rindu diperkaya dengan sosok
dua guru yang hebat dan kreatif. Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak
Soerjaningrat, dua guru terbaik dari Surabaya. Saya—yang berprofesi
sebagai guru, banyak mendapat inspirasi dari potongan-potongan dalam
novel yang mengambarkan kegiataan belajar mengajar anak-anak di kapal
Blitar Holland. Saya yakin, pembaca lain yang juga berprofesi guru, akan
mendapat kesan serupa.
Saya sempat tertipu mengikuti alur cerita dalam novel ini. Atau
mungkin saya yang terlalu berburu-buru mengambil kesimpulan. Adalah
adegan di mana ada “sesuatu” yang selalu menguntit Gurutta saat
melewati lorong-lorong kapal di malam hari. Tere Liye, meski dengan
gaya bahasa simpel, berhasil menciptakan atmosfir “horor”. Berhubung
saya tidak suka dengan cerita-cerita makhluk halus dan sebagainya, saya
sempat sensi. Protes. Kenapa Tere Liye harus menuliskan adegan
horor-horor begini? Setelah tiba di halamaan berikut-berikutnya, saya
akhirnya bisa bernafas lega. Alhamdulillah, ekspektasi saya keliru
Novel Rindu tidak hanya bercerita tentang perjalanan panjang
ke Tanah Suci. Dengan beragam tragedi, konflik, dan serangkaian
peristiwa yang menyertainya. Novel ini semakin berbobot dengan cuplikan
sejarah di beberapa daerah yang dijadikan setting. Saya
seolah-olah bisa merasakan suasana kota Surabaya zaman lampau, naik trem
listriknya. Berjalan-jalan di kota Banten, menyaksikan orang-orang
pribumi berbaur dengan orang Belanda. Termasuk merasakan suasana kota
Kolombo, berkeliling menaiki kereta sapi.
Sesampai di akhir novel—tiba di bagian prolog, saya anggap sudah
tidak ada kejutan dari Tere Liye. Ending beberapa tokoh nyaris bisa
ditebak. Namun lagi-lagi saya terpeleset. Novel ini, meski sekilas tidak
memiliki konflik yang berat, yang menuntut penyelesaian. Rupanya
memiliki bagian yang membuat saya tersentak. Ibarat film, selalu menjadi
berkesan jika memiliki twist. Dan twist itu ada di novel ke-20 Tere Liye ini.
Untuk sampul buku, saya hanya ingin komentar, “Tumben, untuk sampul novelRindu
Tere Liye tidak mengadakan survey.” Biasanya Tere Liye melibatkan
pembaca dalam pemilihan sampul (meski tidak semua buku). Dan menurut
saya, sampul novel Rindu sudah cukup mewakili isi novelnya—meski bagi saya tidak begitu istimewa. Yang saya suka dari sampul novel Rindu
adalah pemilihan warnanya. Meski begitu, sampul karya EMTE ini harus
saya akui, berhasil membuat orang penasaran menyelami isi bukunya. Oya,
saat menulis resensi ini, saya mendapat info di fanpage Tere Liye, novel Rindu
sudah naik cetak 4 kali (di bulan pertama terbit). Nampaknya, buku ini
memang persembahan spesial Tere Liye. Karya yang dirindukan di
penghujung tahun 2014.
Akhirnya, novel Rindu ini menjadi bacaan dengan ide yang
baru dan segar. Tema perjalanan haji di zaman lampau akan menyisakan
kesan tersendiri. Selain itu, pembaca nampaknya akan dibuat jatuh cinta
dengan tokoh-tokoh di dalamnya. Dan yang tak kalah penting, ada sesuatu
pemahaman baru yang terekam. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar